Kemendikbud Tegaskan Soal UN Tahun Ini Berbentuk Pilihan Ganda

Thu, 01/29/2015 – 16:21

Jakarta, Kemendikbud — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Kepala Pusat Penilaian Pendidikan, Nizam menegaskan bahwa soal ujian nasional (UN) tahun ini masih menggunakan model pilihan ganda. Penegasan ini dilakukan untuk mengklarifikasi pemberitaan di media massa yang menyebut bahwa soal UN tahun ini berbentuk esai.

“Saya mendapat telepon dan SMS dari kepala sekolah, guru, orang tua yang kaget setelah membaca berita bahwa UN 2015 tidak lagi pilihan ganda. Mereka bingung. Jadi saya ingin menyampaikan bahwa UN tahun ini, bentuk-bentuk soalnya masih sama dengan UN tahun-tahun sebelumnya, yaitu pilihan ganda, baik ujian yang berbasis kertas maupun komputer,” kata Nizam dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (29/1).

Ia menjelaskan, ke depan bentuk soal UN memang memungkinkan tidak hanya pilihan ganda, tetapi bisa lebih beragam. Namun kondisi ini hanya dapat dilakukan jika ujian yang diselenggarakan negara tersebut seluruhnya telah berbasis komputer (computer based test/CBT). “Jika menggunakan model (CBT) ini, maka bentuk soal bisa beragam, tidak hanya pilihan ganda, tetapi bisa juga, misalnya dalam bentuk mini esai, mengisi jawaban langsung, menjodohkan, memutar-mutar kalimat, dan lain-lain. Tapi ini masa depan. Tidak ada salahnya masa depan ini disampaikan, karena ini positif,” ungkap Nizam.

Dalam kesempatan yang sama, Nizam juga menyampaikan perkembangan persiapan UN. Ia mengatakan, bahwa seluruh persiapan UN masih sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Saat ini proses pelelangan pencetakan naskah soal telah selesai dan telah terpilih sekitar 15 perusahaan percetakan yang akan segera diumumkan.

“Sekarang juga tengah dipersiapkan lelang untuk materi ujian bahasa inggris bagianlistening comprehension test berupa penggandaan CD. Selain itu, persiapan yang tengah dilakukan adalah cetakan bahan UN untuk siswa berkebutuhan khusus, sehingga semua anak-anak bisa terlayani dengan baik sesuai dengan kondisinya,” jelas Nizam. (Ratih Anbarini)

 

Ujian Nasional Kini Tidak Menakutkan Lagi Bagi Siswa

Fri, 01/23/2015 – 14:43

Jakarta, Kemendikbud — Selama ini hasil ujian nasional (UN) menjadi salah satu penentu kelulusan siswa. Hal ini menjadikan sebagian besar siswa menganggap UN menjadi sesuatu yang menegangkan atau menakutkan sehingga membuat siswa stres. Bahkan ada sebagian siswa yang melakukan ritual-ritual khusus menjelang pelaksanaan UN. Namun, mulai tahun ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berupaya menjadikan UN tidak lagi dipandang sebagai sesuatu hal yang menakutkan atau sakral bagi siswa.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, mengatakan rencana perbaikan UN salah satunya adalah desakralisasi UN yang akan dimulai tahun ini. “Saya menggarisbawahi UN digunakan untuk mengembangkan potensi dan evaluasi siswa, UN bukan sebagai sesuatu yang sakral atau menakutkan melainkan sebagai sesuatu hal yang positif,” katanya pada saat jumpa pers tentang Perubahan Kebijakan Ujian Nasional di kantor Kemendikbud, Jakarta, Jumat (23/1/2015).

Mendikbud menekankan, suasana UN yang banyak kecurangan di tahun-tahun sebelumnya harus berhenti. UN tahun ini, kata dia, merupakan kesempatan bagi sekolah sebagai cermin untuk mengembangkan siswa-siswanya dari seluruh aspek. “Kenyataan di lapangan bukan siswa yang sering manipulasi tetapi justru ekosistem pendidikan,” ujarnya.

Mendikbud menegaskan pendidikan bukan soal tarik menarik kepentingan politik tetapi justru harus dibebaskan dari kepentingan politik. Pendidikan, kata dia, adalah soal mengembangkan seluruh potensi anak didik. “Konsentrasinya adalah UN dapat membentuk perilaku yang baik pada seluruh aktor pendidikan baik siswa, orang tua, guru, sekolah, dinas pendidikan daerah hingga pemerintah pusat,” tuturnya.

Mendikbud mengimbau seluruh komponen pendidikan di Indonesia agar tidak merusak mentalitas anak didik dalam menghadapi UN. UN tahun ini, kata dia, akan dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan potensi para siswa. “Bila ini dirusak maka kita tidak sedang menyiapkan masa depan yang lebih baik,” ucap mantan rektor Universitas Paramadina itu.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Kemendikbud, Nizam, mengatakan UN tahun ini tidak akan melibatkan aparat keamanan dengan persenjataan lengkap dalam pendistribusian naskah UN. Pelaksanaan UN tahun ini, kata dia, pengawas ujiannya pun tidak lagi dari dosen-dosen perguruan tinggi. “UN tahun ini bukan sesuatu yang mengerikan lagi bagi siswa,” katanya. (Agi Bahari)

Mendikbud Sosialisasikan Kebijakan Perubahan UN di Konkernas PGRI

Sun, 01/25/2015 – 00:13
Padang, Kemendikbud — Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan mengumumkan kebijakan perubahan ujian nasional (UN) di hadapan peserta Konferensi Kerja Nasional (Kongkernas) II Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Padang, Sumatera Barat, Sabtu (24/1/2015). Dalam kesempatan itu, Mendikbud mengingatkan kembali bahwa tujuan UN adalah untuk melakukan penilaian atas standar kompetensi lulusan. Oleh karena itu, ada beberapa kebijakan UN yang diubah.
“Yang kita ubah adalah UN tidak lagi menjadi syarat kelulusan siswa dari sebuah satuan pendidikan. Seorang peserta didik dinilai oleh sekolah. Sekolah yang memutuskan dan bila dinyatakan lulus, siswa menerima sertifikat tamat belajar. Kemudian, negara menyelenggarakan ujian yang hasilnya menunjukkan posisi siswa dibandingkan dengan standar-standar yang ada,” ungkap Mendikbud.
Kebijakan UN kedua adalah siswa yang merasa nilainya kurang, dapat mengulang ujian yang sama tahun depan. Mendikbud menjelaskan, untuk dapat mengulang ujian dengan baik, tentu siswa harus belajar. Pihaknya ingin menggeser bahwa bukan semata-mata sebagai hakim, tetapi ujian sebagai sebuah proses pembelajaran. Ujian bukan sesuatu yang mengerikan dan menakutkan, tapi sesuatu yang memang ingin diraih.
Mendikbud juga mengatakan, melalui kebijakan tersebut, pihaknya ingin mengembalikan integritas para komunitas pendidikan. Diakuinya bahwa selama ini UN menjadikan kecurangan bersifat jamak. “Bahkan guru berada dalam posisi terjepit. Perintahnya lulus, namun situasinya berbeda. Ini harus kita ubah,” katanya.
Menurut mantan rektor Universitas Paramadina ini, UN harus digunakan untuk mengembangkan potensi anak dengan baik. Pihaknya ingin konsep yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, diterapkan. Dalam buah pikirannya, Ki Hajar Dewantara menempatkan pendidikan sebagai sebuah kegembiraan yang menyenangkan.
“Istilah beliau adalah taman. Kita berharap konsep taman ini bisa diterapkan kembali di sekolah-sekolah kita di seluruh Indonesia. Anak ingin ke sekolah. Anak ingin tidak pulang dari sekolah. Kenapa? Karena di sekolahnya merasa senang, nyaman, menyenangkan,” ungkap Mendikbud seraya menambahkan bahwa tanggung jawab membuat sekolah menyenangkan itu ada pada para pendidik dan birokrasi pendidikan. (Ratih Anbarini)

MULIAKAN (VIP KAN) GURU KITA

VIP-kan Guru-guru Kita!

Oleh: Anies Baswedan

Berapa jumlah guru yang masih hidup?” itu pertanyaan Kaisar Jepang sesudah bom atom dijatuhkan di tanah Jepang.

Kisah itu beredar luas. Bisa jadi itu mitos, tetapi narasi itu punya konteks yang valid: pemimpin ”Negeri Sakura” itu memikirkan pendidikan sebagai soal amat mendasar untuk bangkit, menang, dan kuat. Ia sadar bukan alam yang membuat Jepang menjadi kuat, melainkan kualitas manusianya. Pendidikan jangan pernah dipandang sebagai urusan sektoral. Pendidikan adalah urusan mendasar bangsa yang lintas sektoral. Hari ini 53 persen penduduk bekerja kita hanya tamat SD atau lebih rendah, yang berpendidikan tinggi hanya 9 persen. Pendidikan bukan sekadar bersekolah, melainkan fakta itu gambaran menampar yang membuat kita termenung.

Dari sisi kuantitas, penduduk Indonesia di urutan keempat dunia, tetapi dari segi kualitas di urutan ke-124 dari 187 negara. Bangsa ini telah secara ”terencana” membuat sebagian besar penduduknya dicukupkan untuk berlevel pendidikan rendah. Tak aneh jika kini serba impor karena memang sebagian besar penduduk bekerja kita hanya bisa menghasilkan produk bernilai tambah yang rendah.

Selama bangsa dan para pemimpinnya bicara pendidikan secara sambil lalu, dan selama masalah pendidikan dianggap bukan masalah kepemimpinan nasional, jangan harap masa depan akan bisa kuat, mandiri, dan berwibawa. Kunci kekuatan bangsa itu pada manusianya. Jangan hanya fokus pada infrastruktur penopang kehidupan bangsa. Sesungguhya kualitas infrastruktur kehidupan sebuah bangsa semata-mata cermin kualitas manusianya !

Pendidikan adalah soal interaksi antarmanusia. Interaksi antara pendidik dan peserta didik, antara orangtua dan anak, antara guru dan murid, serta antara lingkungan dan para pembelajar. Guru adalah inti dari proses pendidikan. Guru menjadi kunci utama kualitas pendidikan.

Berhenti memandang soal guru sebagai ”sekadar” soalnya kementerian atau sebatas urusan kepegawaian. Soal guru adalah soal masa depan bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Gurulah kelompok yang paling awal tahu potret masa depan dan gurulah yang bisa membentuk potret masa depan bangsa Indonesia. Cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya!

Ya, penyesuaian kurikulum itu penting, tetapi lebih penting dan mendesak adalah menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan guru. Guru merupakan ujung tombak. Kurikulum boleh sangat bagus, tetapi bakal mubazir andai disampaikan oleh guru yang diimpit sederetan masalah. Tanpa penyelesaian masalah-masalah seputar guru, kurikulum nyaris tak ada artinya.

Guru juga manusia biasa, dengan plus-minus sebagai manusia, guru tetap kunci utama. Seorang murid menyukai pelajaran bukan sekadar karena buku atau kurikulumnya, melainkan karena gurunya. Guru yang menyebalkan membuat murid menjauhi pelajarannya, guru yang menyenangkan dan inspiratif membuat murid mencintai pelajarannya.

Kita pasti punya banyak guru yang dulu mengajar. Ada yang masih diingat dan ada yang terlupakan. Artinya, setiap guru punya pilihan, mau jadi pendidik yang dikenang karena inspirasinya atau menjadi pendidik yang terlupakan atau malah diingat karena perilakunya negatif. Guru harus sadar diri. Ia pegang peran besar, mendasar, dan jangka panjang sifatnya. Jika seseorang tak mau menjadi pendidik yang baik, lebih baik berhenti menjadi guru. Terlalu mahal konsekuensi negatifnya bagi masa depan anak dan masa depan bangsa. Ini statement keras, tetapi para pendidik dan pengelola pendidikan harus sadar soal ini. Kepada para guru yang mendidik dengan hati dan sepenuh hati, bangsa ini berutang budi amat besar.

Tiga persoalan besar

Paling tidak ada tiga persoalan besar mengenai guru kita. Pertama, distribusi penempatan guru tidak merata. Di satu tempat kelebihan, di tempat lain serba kekurangan. Kekurangan guru juga terjadi di kota dan di desa yang dekat kota. Ini harus dibereskan. Kedua, kualitas guru yang juga tidak merata. Kita harus mencurahkan perhatian total untuk meningkatkan kualitas guru. Mudahkan dan berikan akses bagi guru untuk mengembangkan potensi diri dan kemampuan mengajar. Bukan sekadar mendapatkan gelar pascasarjana, melainkan soal guru makin matang dan terbuka luas cakrawalanya.

Ketiga, kesejahteraan guru tak memadai. Dengan sertifikasi guru telah terjadi perbaikan kesejahteraan, tetapi ada konsekuensi administratif yang sering justru merepotkan guru dan perlu dikaji ulang. Selain soal guru honorer, guru bantu yang masih sering diperlakuan secara tak honored (terhormat). Semua guru harus dijamin kesejahteraannya.

Melihat kondisi sebagian besar guru hari ini, kita seharusnya malu. Kita titipkan masa depan anak-anak kepada guru, tetapi kita tak hendak peduli nasib guru-guru itu. Nasib anak-anak kita serahkan kepada guru, tetapi nasib guru amat jarang menjadi perhatian kita, terutama kaum terdidik, yang sudah merasakan manfaat keterdidikan. Bangsa Indonesia harus berubah. Negara dan bangsa ini harus menjamin nasib guru.

Menghormati guru

Mari bangun kesadaran kolosal untuk menghormati-tinggikan guru. Pemerintah harus berperan, tetapi tanggung jawab besar itu juga ada pada diri kita setiap warga negara, apalagi kaum terdidik. Karena itu, VIP-kan guru-guru dalam semua urusan!

Guru pantas mendapat kehormatan karena mereka selama ini menjalankan peran terhormat bagi bangsa. Saya ajukan dua ide sederhana menunjukkan rasa hormat kepada guru: jalur negara dan jalur gerakan masyarakat. Pertama, negara harus memberikan jaminan kesehatan bagi guru dan keluarganya, tanpa kecuali. Kedua, negara menyediakan jaminan pendidikan bagi anak- anak guru. Bangsa ini harus malu jika ada guru yang sudah mengajar 25 tahun, lalu anaknya tak ada ongkos untuk kuliah. Jaminan kesehatan dan pendidikan keluarganya adalah kebutuhan mendasar bagi guru. Kita harus mengambil sikap tegas: amankan nasib guru dan keluarganya sehingga guru bisa dengan tenang mengamankan nasib anak kita.

Di jalur masyarakat, Gerakan Hormat Guru harus dimulai secara kolosal. Misalnya, para pilot dan awak pesawat, gurulah yang menjadikanmu bisa ”terbang”, sambutlah mereka sebagai penumpang VIP di pesawatmu, undang mereka boarding lebih awal. Para dokter dan semua tenaga medis, gurulah yang mengajarimu sehingga bisa berseragam putih, sambutlah mereka sebagai VIP di tempatmu merawat. Pada pemerintah dan dunia usaha di berbagai sektor, semua prestasi yang dikerjakan adalah buah didikan guru di masa lalu, VIP-kan guru, jadikan mereka customer utama, berikan mereka kemudahan, berikan mereka diskon. Bukan hanya besaran kemudahan atau diskon, melainkan ekspresi kepedulian itu yang menjadi bermakna bagi guru.

Dan semua sektor lainnya, ingatlah bahwa guru merupakan modal awal untuk meraih masa depan yang lebih baik, lebih sejahtera itu dibangun. Di setiap kata dalam pesan pendek (sms) yang ditulis, di sana ada tanda pahala guru. Bangsa ini akan tegak dan disegani saat guru-gurunya terhormat dan dihormati. Bagi anak-anak muda yang kini berbondong-bondong memilih pendidikan guru, ingat tujuan menjadi guru bukan cari tingginya rupiah. Anda pilih jalan mulia, menjadi pendidik. Jangan kemuliaan dikonversi sebatas urusan rupiah, itu cara pintas membuat kemuliaan alami devaluasi. Kesejahteraan Anda sebagai guru memang harus terjamin, tetapi biarkan sorot mata anak didik yang tercerahkan atau cium tangan tanda hormat itu menjadi reward utama yang tak ternilai bagi anda.

Indonesia akan berdiri makin tegak dan kuat dengan kualitas manusia yang mumpuni. Para guru harus sadar dan teguhkan diri sebagai pembentuk masa depan Indonesia. Jadilah guru yang inspiratif, guru yang dicintai semua anak didiknya. Bangsa ini menitipkan anak-anaknya kepada guru, sebaliknya kita sebangsa harus hormati dan lindungi guru dari impitan masalah. Ingat, jadi guru bukanlah pengorbanan, melainkan kehormatan. Guru dapat kehormatan mewakili kita semua untuk melunasi salah satu janji kemerdekaan republik ini: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadikan kami sebangsa makin bangga dan hormat pada guru!

 (Sumber: Kompas.com, tanggal 28 November 2013)

LATIHAN SOAL-SOAL FISIKA KELAS XII

Sebagai latihan untuk menghadapi ujian akhir sekolah mata pelajaran fisika, di sini saya sampaikan file tentang latihan fisika kelas XII.

Silahkan klik disini : kisi-kisi-prediksi-soal-fisika-1-60 digabung

Selama berlangsungnya ujian fisika, siswa dilarang membawa berkas ini, jika ketahuan resiko ditangggung sendiri, kami tidak bertanggung jawab, berkas ini sebagai bahan bacaan di rumah dan untuk latihan saja.

Terima kasih.

Tumbuhkan Budaya Apresiasi Kepada Anak

Jakarta — Pola asuh anak di dalam rumah tangga menentukan kualitas anak. Agar anak memiliki kepercayaan diri yang bertanggung jawab, orang tua dihimbau untuk tidak terlalu otoriter, dan tidak juga terlalu memanjakan.

“Orang tua itu harus demokratis, anak bisa mengemukakan keinginannya, tapi tidak terlalu bebas,” demikian yang diungkapkan oleh pakar pendidikan Arief Rahman, di Hotel Sultan Jakarta, Selasa (2/10).

Selain pola asuh di rumah, sekolah juga dihimbau untuk cepat mengidentifikasi jika ada anak-anak yang bermasalah. Pendekatan dan bimbingan dari guru diyakini mampu mengurangi keagresifan mereka untuk berbuat kekerasan. “Evaluasi terhadap sekolah dan siswanya perlu ditingkatkan,” katanya.

Kalau perlu, dari delapan standar nasional pendidikan yang ada sekarang ditambah satu standar lagi. Yaitu standar peraturan. Setiap sekolah diharapkan benar-benar menegakkan peraturan. Bahkan evaluasi untuk akreditasi sekolahpun diperlukan. “Kalau hanya mengukur otak, maka hanya otak yang oke, begitu juga sebaliknya,” jelasnya.

Arief mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam mencegah terjadinya kekerasan di sekolah maupun di lingkungan sekolah. Pembinaan dari masyarakat akan sangat membantu pekerjaan pemerintah. “Jadi jangan hanya melemparkan tanggung jawab kepada pemerintah saja, masyarakat harus ikut serta,” katanya.

Peran mediapun tak luput dalam membentuk karakter anak. Tayangan-tayangan yang penuh dengan kekerasan hendaknya diminimalisir. Karena masa remaja merupakan masa dimana anak ingin mempraktekkan apa yang dilihatnya.

Terakhir, kebanggaan menjadi bangsa Indonesia harus ditanamkan dalam diri anak. Memberi apresiasi atas apa yang mereka lakukan juga salah satu upaya untuk memberi kepercayaan diri kepada mereka. “Stop mencaci maki, stop ngenyek. Anak kalau diapresiasi akan memiliki kepercayaan diri. Tapi kalau dicaci maki mereka akan dendam,” katanya. (AR) (sumber : http://www.kemdikbud.go.id)

Harus Serius Evaluasi Desentralisasi Pendidikan

Penulis : Ester Lince Napitupulu | Kamis, 9 Agustus 2012 | 19:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS.comPemerintah diminta secara serius mengevaluasi desentralisasi pendidikan di kota/kabupaten. Kewenangan dalam bidang pendidikan di tingkat kabupaten/kota dinilai justru menjadi penghambat kemajuan pendidikan nasional, karena dipengaruhi dinamika politik daerah.

Pengamat pendidikan, HAR Tilaar mengatakan, jika desentralisasi pendidikan tetap menjadi pilihan, sebaiknya ada perubahan untuk memberikannya di tingkat provinsi saja. Hal ini agar pemerintah pusat memiliki cukup kendali untuk memastikan pemerintah daerah juga memiliki komitmen yang sama untuk memajukan pendidikan nasional.

“Desentralisasi pendidikan di Indonesia hingga tingkat kota/kabupaten terlalu cepat. Sebab, tingkat pendidikan masyarakat masih rendah, belum siap menjalankannya. Jadi, sangat perlu desentralisasi pendidikan di kota/kabupaten dievaluasi kembali,” kata Tilaar, Kamis (9/8/2012) di Jakarta.

Menurut Tilaar, pendidikan di daerah saat ini lebih dikendalikan politik praktis atau kekuatan politik. Pendidikan yang diserahkan kepada wali kota/bupati membuat wajah pendidikan karut-marut. “Akan lebih baik dicoba di provinsi dulu. Kalau di tingkat gubernur, mungkin lebih efisien atau lebih mudah mengawasi. Jika memang desentralisasi pendidikan di provinsi terbukti berjalan baik, bisa ditingkatkan hingga ke kota/kabupaten,” kata Tilaar, yang juga Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo mengatakan, sejak tahun 2010 PGRI sudah mengajukan permohonan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar pendidikan yang diotonomikan dievaluasi secara serius, apakah tetap desentralisasi, sentralisasi, atau dekonsentrasi di provinsi. “Sayang hasil kajian dari pemerintah sampai saat ini belum dipublikasikan,” ungkapnya.

Menurut Sulistiyo, evaluasi dan kajian soal desentralisasi pendidikan dibutuhkan supaya ada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menentukan sistem pendidikan di negeri ini. Sebab, Indonesia pernah menjalankan sentralisasi maupun desentralisasi pendidikan, namun hasilnya belum juga memuaskan.

Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengemukakan, perlu diperkuat kembali peran pemerintah pusat dan provinsi dalam pendidikan di daerah. Namun, pemerintah kota/kabupaten tetap dapat diminta komitmennya mendukung pendidikan di daerah masing-masing.

“Untuk investasi di sarana dan prasarana pendidikan, tetap pemerintah kota/kabupaten harus bertanggung jawab,” kata Iwan.

 
Editor :
Nasru Alam Aziz

FSGI: Uji Kompetensi “Kedok” Hapus Tunjangan Guru?

Penulis : Indra Akuntono | Kamis, 26 Juli 2012 | 16:50 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti mengungkapkan kekhawatirannya bahwa uji kompetensi guru (UKG) yang akan digelar akhir Juli mendatang akan dijadikan jalan oleh pemerintah untuk menghapus tunjangan profesi guru (TPG). Hal itu diungkapkan Retno, di sela deklarasi penolakan UKG bersama sejumlah elemen organisasi guru lainnya, di Jakarta, Kamis (26/7/2012).

“Bisa saja, UKG ini merupakan alasan untuk menghilangkan TPG,” kata Retno.

Dugaan dan kekhawatiran ini dilandaskan pada fakta bahwa lebih dari 50 persen fungsi anggaran pendidikan dihabiskan untuk membiayai guru. Menurut Retno, hal ini bisa menjadi salah satu kemungkinan yang mendasari pemerintah ingin mengurangi beban anggaran dengan menghapus TPG.

Alasannya kan bisa dibuat karena kompetensi guru rendah sehingga TPS dihapus. Atau bisa saja diciptakan alasan atas desakan masyarakat. Kami khawatir seperti itu
— Sekjen FSGI Retno Listyarti

“Alasannya kan bisa dibuat karena kompetensi guru rendah (sehingga TPS dihapus). Atau bisa saja diciptakan alasan atas desakan masyarakat. Kami khawatir seperti itu,” kata Retno.

Seperti diberitakan, pemerintah akan menggelar UKG untuk memetakan kompetensi guru sekaligus menilai korelasi peningkatan mutu setelah para guru tersertifikasi diberikan TPG. Akan tetapi, sejumlah organisasi guru menolak, bahkan mengancam akan melakukan boikot serta menggugat kebijakan tersebut.

Alasannya, UKG dinilai tidak adil dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Apalagi, UKG sendiri hanya akan menguji dua kompetensi dari empat kompetensi yang wajib dimiliki para guru dengan rentetan soal pilihan ganda.

“Kami menolak dibilang takut diuji. Padahal cara mengujinya yang salah. Masyarakat jangan salah menilai, TPG selalu tersendat dan tekanan kami semakin besar,” ujar Retno.

Tunjangan Profesi Guru Disunat

Penulis : Ester Lince Napitupulu | Senin, 6 Agustus 2012 | 14:54 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sekitar 200 guru di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, menggelar unjuk rasa di DPRD Kota Makassar, Senin (6/8/2012). Para guru bersertifikat yang berhak menerima tunjangan profesi pendidik ini memprotes penyunatan tunjangan profesi pada tahun ini.

“Dari kurun Januari-Juli 2012, para guru hanya dibayar dua bulan. Kami menolak adanya penyunatan yang merugikan guru,” kata Nurdin, Ketua Forum Komunikasi Pengkajian Aspirasi Guru Indonesia Sulawesi Selatan.

Menurut Nurdin, pembayaran tunjangan profesi pendidik para guru pegawai negeri sipil (PNS) di Kota Makassar dibayarkan pada Juli lalu. Namun, pembayaran yang diterima hanya untuk dua bulan.

“Seharusnya guru menerima enam bulan tunjangan profesi, tetapi Pemerintah Kota Makassar beralasan dananya kurang dari pemerintah pusat,” kata Nurdin.

Anehnya, di kota/kabupaten lain di Sulawesi Selatan, pembayaran tunjangan profesi ada yang mencapai enam bulan, ada juga yang tiga bulan. “Kami tadi menyampaikan aspirasi ke DPRD supaya memperjuangkan hak kami. Pada Jumat nanti, DPRD berjanji akan mempertemukan kami dengan pejabat dinas pendidikan untuk mendapatkan penjelasan resmi,” kata Nurdin.

Di Kota Bandung, para guru juga menyatakan kekecewaannya. Pembayaran tunjangan profesi pendidik pada triwulan kedua ini hanya dibayarkan untuk dua bulan.

“Seharusnya, kan, pembayaran triwulan itu untuk tiga bulan. Sesuai dengan ketentuan Kementerian Keuangan, pembayaran triwulan kedua paling lambat Juli. Tapi, pembayaran lagi-lagi telat dan tidak utuh,” kata Ketua Forum Aksi Guru Indonesia Kota Bandung Iwan Hermawan.

Editor :
Tjahja Gunawan Diredja

Tunjangan Guru Dipotong

Jakarta, Kompas – Guru-guru di sejumlah daerah mengeluh karena pemerintah kabupaten/ kota menahan uang tunjangan profesi guru. Kalaupun dananya cair, pencairannya terlambat sekitar lima bulan dan uangnya tidak utuh diterima para guru karena dipotong aparat daerah.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, sekitar 200 guru, Senin (6/8), berunjuk rasa ke DPRD Makassar karena tunjangan profesi pendidik lambat dicairkan. Sampai Agustus ini, baru tunjangan Januari-Februari yang cair. Padahal, semestinya tunjangan guru diterima setiap tiga bulan dan utuh tanpa potongan apa pun.

Kenyataannya, uang tunjangan guru itu dipotong dengan berbagai alasan. ”Kami menolak pemotongan tersebut,” kata Nurdin, Ketua Forum Komunikasi Pengkajian Aspirasi Guru Indonesia Sulawesi Selatan.

Menurut Nurdin, tunjangan profesi pendidik para guru pegawai negeri sipil di Makassar dibayarkan pada Juli lalu. Namun, yang diterima hanya untuk dua bulan.

”Seharusnya guru menerima enam bulan tunjangan profesi. Tetapi, Pemerintah Kota Makassar beralasan dananya kurang dari pemerintah pusat. Anehnya, di kota/kabupaten lain di Sulawesi Selatan, pembayaran tunjangan profesi ada yang mencapai enam bulan, ada juga yang tiga bulan.” kata Nurdin.

Cirebon dan Bandung

Di Kabupaten Cirebon dan Kota Bandung, Jawa Barat, tunjangan profesi guru juga terlambat dicairkan. ”Setiap ditanyakan ke dinas pendidikan, petugas malah marah-marah dengan alasan dananya belum ada,” kata seorang guru. Kalaupun tunjangan cair untuk Januari dan Februari, dana itu dipotong dengan beragam alasan.

Kondisi yang sama terjadi di Kota Bandung. Meski triwulan kedua 2012 sudah lewat, tunjangan yang cair baru dua bulan.

”Seharusnya pembayaran triwulan kedua paling lambat Juli. Tapi, pembayaran lagi-lagi telat dan tidak utuh,” ujar Ketua Forum Aksi Guru Indonesia Kota Bandung Iwan Hermawan.

Keterlambatan dan penyunatan pembayaran tunjangan profesi pendidik juga dialami guru-guru di DKI Jakarta. Retno Listyarti, Ketua Forum Musyarawah Guru Jakarta, menjelaskan, tunjangan profesi pendidik di DKI Jakarta untuk triwulan pertama yang seharusnya dibayarkan paling telat April lalu baru dibayarkan pada 1 Agustus.

”Guru-guru baru menerima pembayaran tunjangan profesi triwulan pertama untuk tiga bulan. Pembayaran triwulan kedua yang seharusnya paling telat Juli lalu tidak jelas kapan dibayarkan,” tutur Retno.

Persoalan keterlambatan dan ketidakutuhan pembayaran tunjangan profesi pendidik di sejumlah daerah ini disorot Ombudsman RI dalam laporan investigasi tentang penyelenggaraan sertifikasi guru yang diserahkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama.

”Kasusnya tak kunjung selesai,” kata Budi Santoso, anggota Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan/Pengaduan. (ELN)